Carrie
40 tahun lalu, seorang penulis novel merasa tak yakin dengan kemampuannya untuk melanjutkan proses penulisan novel pertamanya. Putus asa, ia pun membuang draft awal yang telah diketiknya ke tempat sampah. Untunglah, isterinya belakangan memungut naskah tersebut dan memberikan semacam penguatan ke sang penulis novel untuk kembali melanjutkannya hingga selesai.
And, the rest is history. Begitulah, penulis novel itu adalah Stephen King, dan novel itu adalah Carrie. Ditulis dengan gaya epistolary, Carrie banyak membangun naratifnya dengan sekumpulan dokumen. Meski cetakan pertamanya terjual hingga 30.000 kopi per 1974, novel tersebut merupakan salah satu judul yang paling sering dilarang di banyak perpustakaan sekolah Amerika Serikat.
Mengapa begitu? Karena Carrie terasa nyata. Sebagian besar isi dari novel tersebut menggunakan kliping koran, artikel-artikel majalah, surat hingga kutipan dari berbagai buku non fiksi. Semuanya membahas seorang gadis bernama Carietta N. White yang menghancurkan sebuah kota di Maine, Chamberlain, sebagai pembalasan atas perilaku bullying yang dialaminya dari teman sekolah.
King sendiri menyebut karyanya itu memiliki kekuatan yang mengejutkan untuk memberikan rasa sakit sekaligus kesan yang menakutkan. Saya secara pribadi pun menilai horror paling mengerikan sebenarnya tak berkaitan dengan roh, hantu, atau segala macam yang terkait, melainkan lebih kepada berbagai interaksi yang nyata terjadi antar manusia. Begitu pun halnya dengan bullying.
Mungkin karena terasa begitu nyatanya hingga membuat berbagai kalangan merasa relate, Carrie pun diboyong, alias diadaptasi, ke banyak media lain. Di antaranya adalah film layar lebar di tahun 1976, pertunjukan musikal Broadway di tahun 1988, sekuel film layar lebar di tahun 1999, film televisi di tahun 2002, dan akhirnya remakefilm layar lebar di tahun ini.
Mendapuk Chloe Grace Moretz (Hugo, Let Me In, Kick-Ass) sebagai sang karakter, penonton akan melihat gadis remaja pemalu itu mendapatkan penyiksaan dari dua sisi. Pertama dari ibunya yang fanatik dalam beragama, Margaret (Julianne Moore), di rumah, dan kedua dari teman-teman sekolahnya di bawah pimpinan seorang gadis kaya yang b*tchy, Chris (Portia Doubleday).
Di suatu siang yang naas, kala mendapatkan haidnya yang pertama –sesuatu yang belum pernah dipahami Carrie karena tak pernah diajari sang ibu hingga membuat dirinya amat ketakutan– di bawah shower ruang ganti, gadis itu dipermalukan habis-habisan oleh Chris. Tak diketahui oleh siapa pun selain Carrie, kejadian yang tak sepantasnya itu memunculkan kemampuan telekinetisnya.
Seorang teman sekolah, Sue (Gabriella Wilde), belakangan merasa sangat bersalah, dan memilih untuk melepaskan kesempatan mengikuti prom dan meminta kekasihnya, Tommy (Ansel Elgort) untuk mengajak Carrie sebagai ganti atas dirinya. Jika belum pernah menonton film lamanya atau pun membaca novelnya, tentunya kalian sedikit banyak telah bisa menebak apa yang akan terjadi.
Bisa jadi adalah suatu kesalahan bagi saya sebagai seorang reviewer film untuk menyatakan bahwa remakegarapan Kimberly Peirce ini bukanlah film yang benar-benar buruk untuk ditonton di layar lebar. Bahkan, cukup menghibur dalam beberapa bagian. Terasa seperti pembenaran atau pun tidak, keberadaannya akan bergantung pada selera pribadi dari masing-masing penonton
Well... jika pernah membaca novel aslinya, meski ada banyak hal yang tak terjadi atau pun berubah, beberapa hal bisa jadi dimunculkan dengan lebih baik dalam remake ini. Tapi, akan amat berbeda jika pernah menonton film lamanya, yang digarap dengan cita rasa cult oleh Brian De Palma di tahun 1976 silam itu, terlebih kalau kalian adalah fans berat yang sangat memujanya.
Saya tak ingin menjadi terasa berat sebelah. Berpengalaman membesut drama dan pengekplorasian karakter yang terbilang baik, semisal di Boys Don’t Cry dan Stop-Loss, Peirce tidaklah hanya sekedar memindahkan adegan-adegan dari film lamanya dengan efek-efek spesial yang lebih mengkilap di masa kini. Sang filmmakermasih berupaya untuk menemukan relevansi yang kontemporer.
Terlebih di era yang miris ini, di mana kaum remaja pun bisa dengan gampang membunuh dirinya sendiri karena menerima perlakukan bullying, baik di dunia nyata mau pun di dunia maya. Upaya interpretasi Pierce patut untuk dipuji. Sayang, hasil akhirnya sedikit tak berimbang. Bagai serial TV yang ber-setting di sekolah dicampur filmhorror remaja, minus kekuatan yang ada di film lamanya.
Setidaknya, remake ini memiliki jajaran cast yang kuat untuk mendukungnya. Meski sebenarnya saya agak merasa kurang diyakinkan dengan performa Moretz sebagai Carrie, yang seharusnya rapuh dan cenderung tak percaya diri. Jujur saja, dengan penampilannya yang cantik dan penuh keyakinan, aktris muda ini terasa kurang pas di-plot sebagai seorang gadis yang menjadi korban bullying.
Sementara Moore terasa sangat menghidupi karakternya yang berkelakuan miring saking kolotnya. Bagusnya,chemistry yang terjalin antara dirinya dan Moretz pun mengalir natural. Elgort sendiri terasa pas dan charmingsebagai sesosok love interest, dan Judy Greer (favorit pribadi di banyak serial TV dan film-film rom-com) terasa menyolok sebagai guru olahraga yang memihak Carrie.
Begitulah, kehadiran jajaran cast-nya memang memberi nilai plus tersendiri. Soalnya, meski Peirce telah berupaya menghantarkan kisah horror klasik ini ke masa modern –yang banyak melibatkan penggunaansmartphone, Internet, dan YouTube– sebenarnya tak banyak hal yang akhirnya bisa ditambahkan ke dalam naratifnya yang sudah sangat familiar dan cenderung dibawa linier itu.
Usahanya untuk lebih mengeksplor keseharian hidup di era ini agar Carrie bisa terasa lebih relate ke masa modern bolehlah diacungi jempol. Bagi para penonton remaja, yang belum pernah menonton film lamanya, mungkin akan merasakan kecocokan. Namun, bagi yang telah menontonnya atau pun para penonton yang lebih dewasa, remake ini mungkin terasa tanggung dan kurang greget.
Pada akhirnya, kebanyakan remake memang akan terasa jomplang jika dibandingkan dengan film lamanya. Miris untuk dikatakan, tapi itulah yang kurang lebih terjadi dengan Carrie kali ini.
Ratings for Carrie
C+ Overall
Genre:Horror
Durasi:99menit
0 komentar:
Posting Komentar